Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
Di penghujung edisi tahun ini, sebelum kami melepaskan rubrik menarik ini kepada ustadz yang lain, kami akan menyebutkan secara ringkas beberapa kitab bermasalah yang diingatkan oleh para ulama. Semoga nasehat mereka tersebut dapat menjadi perhatian bagi kita semua. Sungguh benar apabila mereka diibaratkan dengan bintang di langit, sebab bintang memilki tiga faedah:
- Penerang kegelapan,
- Perhiasan langit dan
- Lemparan bagi syetan yang mencuri kabar langit.
Demikian halnya para ulama, mereka memiliki tiga sifat tersebut;
- Mereka penerang kegelepan dan kebodohan,
- Perhiasan di muka bumi, dan
- Lemparan bagi syetan yang mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan dan membuat perkara-prkara baru dalam agama dari para pengekor hawa nafsu. (Risalah Warasatul Anbiya’ Ibnu Rajab al-Hanbali hal. 14-15)
Berikut beberapa kitab bermasalah yang diingatkan para ulama tersebut:
Judul Kitab: Durratun Nashihin
Penulis: Utsman bin Hasan bin Ahmad Syakir al-Khubari
Komentar: Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: “Kitab tidak bisa dijadikan sandaran karena banyak memuat hadits-hadits palsu dan hal-hal yang tidak bisa dijadikan sandaran, termasuk diantaranya dua hadits yang ditanyakan oleh si penanya di atas, sebab kedua hadits tersebut tidak ada asalnya dan didustakan kepada Nabi. Maka kitab seperti ini dan juga kitab sepertinya yang memuat banyak hadits-hadits palsu jangan dijadikan sandaran…”. (Fatawa Nur Ala Darb hal. 80)
Judul Kitab: Fi Zhilal Qur’an
Penulis: Al-Ustadz Sayyid Quthub
Komentar: Syaikh al-Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata ketika tentangnya: “Telah banyak perbincangan tentang kitab tersebut beserta penulisnya, padahal dalam kitab-kitab tafsir lainnya terdapat kecukupan seribu kali lipat dari kitab ini seperti Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Sa’di, Tafsir al-Qurthubi -sekalipun beliau memiliki kelemahan dalam hadits- dan tafsir Abiu Bakar al-Jazairi. Sebagian ahli ilmu seperti ad-Duwaisy[1] dan al-Albani telah memberikan beberap catatan tentang kitab ini. Saya sendiri belum membacanya secara keseluruhan, tetapi saya membaca tafsirnya dalam surat Al-Ikhlas, saya dapati dia telah mengucapkan ucapan yang amat berbahaya dan menyelisihi keyakinan Ahli Sunnah wal Jama’ah, dimana penafsirannya menunjukkan bahwa dia mengatakan wahdatul wujud, demikian pula dia menafsirkan istiwa’ dengan kekuasaan. Perlu diketahui bahwa kitab ini bukanlah kitab tafsir sebagaimana disebutkan oleh penulisnya sendiri dengan “Zhilal Qur’an” (Naungan Al-Qur’an). Maka sewajibnya bagi para penuntut ilmu untuk tidak menjadikan penulis ini ataupun selainnya sebagai faktor perselisihan dan pertengakaran diantara mereka atau menjadikan wala dan bara’ di atas orang tersebut. (Majalah Dakwah, Edisi 1591/Muharram 1418 H)[2].
Judul Kitab: Al-Kasyfu An Mujawazah Hadzihi Ummah Alf (Umur Umat Manusia)
Penulis: Jalaluddin as-Suyuthi
Komentar: Syaikh al-Albani berkata: “Risalah as-Syutuhi “Al-Kasyfu An Mujawazah Hadzihi Ummah Alf”. Kenyataan telah membuktikan batilnya hadits-hadits yang berkaitan tentang penentuan umur umat yang dihitung dengan hitungan tahun[3]. Bagaimana mungkin bagi manusia untuk menentukan dengan waktu seperti ini yang berkonsekuansi penentuan watu tibanya hari kiamat”. (Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah 8/107)
Judul Kitab: Alfu Lailatin wa Lailah (seribu cerita/dongeng Abu Nuwas dan Harun Rasyid)
Komentar: Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan ketika ditanya: “Disebutkan dalam sebagian buku sejarah, terutama buku Alfu Lailatin wa Lailah bahwa khalifah Harun Rasyid sangat suka nyanyian dan minum khamr, apakah ini benar? Beliau menjawab: Semua ini adalah kedustaan dan noda yang diselundupkan dalam sejarah Islam. Kitab Alfu Lailah wa Lailah kitab yang tidak dipercaya. Oleh karenanya tidak sepantasnya bagi seorang muslim untuk menyia-nyiakan waktu untuk membaca buku tersebut.
Harun Rasyid adalah seorang yang dikenal shalih, istiqamah, sungguh-sungguh dan pandai dalam mengatur rakyatnya, beliau berangkat haji setiap tahun dan perang setiap tahun. Tuduhan yang digoreskan dalam kitab ini tidak perlu diperhatikan. Dan tidak sepantasnya bagi seorang muslim untuk membaca kitab kecuali kitab yang memuat faedah seperti kitab-kitab sejarah terpercaya, kitab-kitab tafsir, hadits, fiqih, aqidah yang membantu seorang untuk mengenal agamanya, adapun kitab-kitab rendahan, maka tak sepantasnya bagi seorang muslim untuk menyia-nyiakan waktunya untuk membacanya”. (Al-Muntaqa Min Fatawa Syaikh Shalih al-Fauzan 2/306)
Judul Kitab: Syamsul Ma’arif (Cahaya Pengetahuan)
Penulis: Ahmad bin Ali al-Buni
Komentar: Syaikh Abdullah al-Jibrin berkata: “Kitab ini termasuk kitab khurafat, penulisnya telah memenuhinya dengan kedustaan, khurafat, kebatilan, aqidah rusak yang orang yang meyakininya maka dia kufur. Kitab ini juga penuh dengan ajaran sihir dan perdukunan, oleh karenanya kitab ini banyak digemari oleh para dukun. Kitab ini telah menimbulkan banyak kerusakan dan menjerumuskan banyak orang dalam jeratan kekufuran dan kesesatan. Maka kami menasehatkan kepada setiap muslim untuk menjauhinya, barangsiapa yang terlajur memilikinya maka hendaknya membakarnya. Sebagaimana kami menasehatkan kepada setiap muslim untuk banyak membaca Al-Qur’an dan kitab-kitab hadits seperti shahih Bukhari Muslim, sunan, kitab-kitab tauhid, sebab hal itu akan dapat menjaga agama seorang. Wallahu A’lam”. (Fatawa Islamiyah 3/365)
Judul Kitab: Limadza Ikhtartu Syi’ah (Mengapa Aku Memilih Syi’ah)
Penulis: Muhammad Mar’I al-Amin al-Anthaki
Komentar: Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid berkata: “Pada tahun 1405 H, saya mendapatkan sebuah kitab berjudul “Limadza Ikhtartu Syi’ah” yang dinasabkan kepada Muhammad Mar’I al-Amin al-Anthaki, dimana dia mengaku dahulunya adalah penganut faham sunni dan bermadzhab syafi’I kemudian pindah kepada faham Syi’ah. Kitab ini hanya diada-adakan saja dan dinisbatkan kepada penulis yang tak dikenal, bahkan kitab ini hanyalah kedustaan yang dibuat-buat oleh kelompok Rafidhah untuk melariskan madzhab Syiah”. (At-Tahawwul Madzhabi hal. 89 -An-Nadhair-).
Judul Kitab: Lubabul Ma’ani (Manakib Syaikh Abdul Qadir al-Jailani)
Penulis: Abu Shalih Mustamir al-Hajeni al-Juwani
Komentar: Drs. Imron AM berkata: “Kitab Manakib, merupakan kitab yang oleh sebagian masyarakat Islam di Indonesia dipercayai sebagai kitab yang memiliki nilai-nilai keberkatan, seperti dapat mendatangkan rezeki bagi pembacanya, dapat menyebabkan terkabulnya tujuan-tujuan dunia dan akherat, dapat dipergunakan untuk mengusir makhluk-makhluk halus untuk peleasan nadzar (kaul/jawa) dan sebagainya.
Maka diciptakanlah upacara-upacara pembacanya dengan aneka variasi yang menyerupai ibadah dan diakhiri dengan doa-doa istighatsah untuk mengundang roh yang dipandang suci untuk diminta bantuan menyampaikan doa-doa mereka kepada Tuhan.
Menurut penelitian penulis, Kitab Manakib tidak hanya merusak dan mengotori aqidah seorang muslim tetapi di samping itu juga secara tidak langsung merupakan penghinaan kepada Allah dan Malaikat-MalaikatNya.
Dan penulis berteguhan hati bahwa Syaikh Abdul Qadir al-Jailani sendiri bersih dari semua cerita-cerita Manakib itu, karena menurut keyakinan penulis bahwa cerita semacam itu adalah hasil karya tangan tangan kotor…”. (Muqaddimah Kitab Manakib Syaikh Abdul Qadir Jaelani Merusak Aqidah).
Akhirnya, kami berdoa kepada Allah agar menambahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat.
CATATAN KAKI:
[1]Beliau menulis kitab berjudul Al-Maurid Az-Zulal fi Tanbih ala Akhta’ Zhilal (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia).
[2] Kritikan juga ditegaskan oleh para ulama lainnya, diantaranya Syaikh Ibnu Baz, al-Albani, Shalih al-Fauzan, Shalih al-Luhaidan, Abdullah al-Ghadyan, Abdul Muhsin al-Abbad, Hammad al-Anshari, Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh, Muhammad bin Jamil Zainu dan lain sebagainya. (Lihat selengkapnya dalam buku Bara’ah Ulama Ummah Min Tazkiyah Ahli Bid’ah oleh Isham bin Abdillah as-Sinani).
[3] Mirip dengan masalah b ini juga buku “Umur Umat Islam” oleh Amin Muhammad Jamaluddin. Syaikh Masyhur bin Hasan berkata: “Hendaknya para pembaca mewaspadai kitab ini, sebab penulisnya banyak menjadikan berita-berita israiliyyat sebagai sandaran yang dipercaya begitu saja dan menggambarkan keterkaitan antara beberapa kejadian yang terdaat dala hadits dari pikirannya sendiri”. (Al-Iraq fi Ahadits wa Atsar 1/438).
Jazakumullohkhairan telah diingatkan…
Jazzakallah,
maw nanya, sbnrny Syaik Abdul Qadir al Jailani itu sndri bermanhaj apa? Knp bnyk orng2 pnganut wihdatil wujud yg menisbahkan kpd beliau?
Untuk akhi fillahi, Romantic, semoga Allah memberkati anda
mungkin sedikit meng-islah dan tabayyun
menanggapi tafsir zhilal, setau saya buku ini menceritakan hasil dari tadabbur ayat-ayat al-Quran yang dilakukan syed Qutb bersama para teman seperjuangan beliau ketika beliau di penjara dalam masa penantian beliau di hukum mati pada pemerintahan gamal abd naser.
pada awal memang kitab ini tidak menisbahkan kepada ilmu tafsir, karena dalam penulisan semua berdasar pada tadabbur ayat atas dasar pemahaman beliau dan kafa_ah beliau yang memang bukan lulusan kuliah agama bersama para sahabt beliau yang sam-sama ditahan, buu ini memang tidak pernah di jadikan rujukan dalam menafsirkan, hanya saja buku ini banya menjadi inspirasi para penulis, seperti halnya buku tafsir ilmu pengetahuan dan esehatan dalam alquran, buu ini tidak memaai ilmu tafsir tapi lebih kepada hikmah dibalik ayat tersebut yang bersepakat dengan hukum sains dan kesehatan.
wallahu ‘alam
ya ustad ana adalh salah satu keturunan dari Ahmad bin Ali al-Buni..alhamdulillah bayak keluarga yang telah meninggalkan kitab Syamsul Ma’arif al Khubro ..
Kedudukan Hadis “Memisahkan Diri Dari Ali Berarti Memisahkan Diri Dari Nabi SAW”.
Dalam tulisan kali ini akan dibahas contoh lain kesinisan salafy dalam menyikapi hadis-hadis keutamaan Ahlul Bait. Hadis ini termasuk salah satu hadis yang menjadi korban syiahphobia yang menjangkiti para ulama.
حدثنا عبد الله قال حدثني أبي قثنا بن نمير قثنا عامر بن السبط قال حدثني أبو الجحاف عن معاوية بن ثعلبة عن أبي ذر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم يا علي انه من فارقني فقد فارق الله ومن فارقك فقد فارقني
Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair yang berkata telah menceritakan kepada kami Amir bin As Sibth yang berkata telah menceritakan kepadaku Abul Jahhaf dari Muawiyah bin Tsa’labah dari Abu Dzar yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Wahai Ali, siapa yang memisahkan diri dariKu maka dia telah memisahkan diri dari Allah dan siapa yang memisahkan diri dariMu maka dia telah memisahkan diri dariKu”.
Hadis dengan sanad diatas diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Fadhail As Shahabah no 962. Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Al Mustadrak no 4624 dan no 4703, Al Bukhari dalam Tarikh Al Kabir juz 7 no 1431 biografi Muawiyah bin Tsa’labah, Ibnu Ady dalam Al Kamil 3/82 dan Al Bazzar dalam Musnad Al Bazzar no 4066. Berikut sanad riwayat Al Bazzar
حدثنا علي بن المنذر وإبراهيم بن زياد قالا نا عبد الله بن نمير عن عامر بن السبط عن أبي الجحاف داود عن أبي عوف عن معاوية بن ثعلبة عن أبي ذر رضي الله عنه قال قال رسول الله لعلي يا علي من فارقني فارقه الله ومن فارقك يا علي فارقني
Telah menceritakan kepada kami Ali bin Mundzir dan Ibrahim bin Ziyad yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Numair dari Amir bin As Sibth dari Abul Jahhaf Dawud bin Abi Auf dari Muawiyah bin Tsa’labah dari Abu Dzar RA yang berkata Rasulullah SAW bersabda kepada Ali “Wahai Ali siapa yang memisahkan diri dariKu maka dia telah memisahkan diri dari Allah dan siapa yang mmisahkan diri dariMu Ali maka dia telah memisahkan diri dariKu”.
.
Kedudukan Hadis
Hadis ini sanadnya shahih, telah diriwayatkan oleh para perawi terpercaya sebagaimana yang dikatakan Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid 9/184 no 14771 setelah membawakan hadis Abu Dzar RA di atas
رواه البزار ورجاله ثقات
Hadis riwayat Al Bazzar dan para perawinya tsiqat.
Al Hakim telah mnshahihkan hadis ini dalam kitabnya Al Mustadrak no 4624 dan memang begitulah keadaannya. Berikut keterangan mengenai para perawi hadis tersebut
* Ali bin Mundzir disebutkan Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 7 no 627 bahwa ia dinyatakan tsiqat oleh Abu Hatim, An Nasa’i, Ibnu Hibban dan Ibnu Numair. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/703 memberikan predikat shaduq padahal ia sebenarnya orang yang tsiqah. Oleh karena itu Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Bashar Awad Ma’ruf dalam Tahrir Taqrib At Tahdzib no 4803 menyatakan Ali bin Mundzir tsiqat.
* Abdullah bin Numair, disebutkan Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 6 no 110 bahwa ia telah dinyatakan tsiqat oleh para ulama seperti Ibnu Ma’in, Ibnu Sa’ad, Ibnu Hibban dan Al Ajli. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/542 menyatakan ia tsiqah.
* Amir bin As Sibth atau Amir bin As Simth, Ibnu Hajar menuliskan biografinya dalam At Tahdzib juz 5 no 108 dan ia telah dinyatakan tsiqat oleh Yahya bin Sa’id, Ibnu Hibban, An Nasa’i dan Ibnu Ma’in berkata “shalih”. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/461 menyatakan ia tsiqah.
* Abul Jahhaf namanya Dawud bin Abi Auf. Ibnu Hajar menuliskan biografinya dalam At Tahdzib juz 3 no 375 dan ia telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in dan Ahmad bin Hanbal. Abu Hatim berkata “hadisnya baik” dan An Nasa’i berkata “tidak ada masalah dengannya”. Ibnu Syahin telah memasukkan Abul Jahhaf sebagai perawi tsiqah dalam kitabnya Tarikh Asma’ Ats Tsiqat no 347. Ibnu Ady telah mengkritik Abul Jahhaf karena ia banyak meriwayatkan hadis-hadis keutamaan Ahlul Bait dan tentu saja kritikan seperti ini tidak beralasan sehingga pendapat yang benar Abul Jahhaf seorang yang tsiqah.
* Muawiyah bin Tsa’labah, ia seorang tabiin yang tsiqat. Ibnu Hibban memasukkan namanya dalam Ats Tsiqat juz 5 no 5480 seraya menegaskan bahwa ia meriwayatkan hadis dari Abu Dzar dan telah meriwayatkan darinya Abul Jahhaf. Al Bukhari menyebutkan biografinya dalam Tarikh Al Kabir juz 7 no 1431 seraya membawakan sanad hadis di atas dan tidak sedikitpun Bukhari memberikan cacat atau jarh pada Muawiyah bin Tsa’labah dan hadis yang diriwayatkannya. Abu Hatim dalam Al Jarh Wat Ta’dil 8/378 no 1733 menyebutkan bahwa Muawiyah bin Tsa’labah meriwayatkan hadis dari Abu Dzar dan telah meriwayatkan darinya Abul Jahhaf Dawud bin Abi Auf. Abu Hatim sedikitpun tidak memberikan cacat atau jarh padanya. Adz Dzahabi memasukkan nama Muawiyah bin Tsa’labah dalam kitabnya Tajrid Asma’ As Shahabah no 920 dimana ia mengutip Al Ismaili bahwa Muawiyah bin Tsa’labah seorang sahabat Nabi, tetapi Ibnu Hajar dalam Al Ishabah 6/362 no 8589 menyatakan bahwa Muawiyah bin Tsa’labah seorang tabiin. Tidak menutup kemungkinan kalau Muawiyah bin Tsa’labah seorang sahabat atau jika bukan sahabat maka ia seorang tabiin. Statusnya sebagai tabiin dimana tidak ada satupun yang memberikan jarh terhadapnya dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat sudah cukup sebagai bukti bahwa ia seorang tabiin yang tsiqat.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa hadis tersebut telah diriwayatkan oleh para perawi tsiqat sehingga tidak diragukan lagi kalau hadis tersebut shahih. Sayangnya para pendengki tidak pernah puas untuk membuat syubhat-syubhat untuk meragukan hadis tersebut seolah hati mereka tidak rela dengan keutamaan Imam Ali yang ada pada hadis tersebut. Mari kita lihat syubhat salafiyun seputar hadis ini.
Syubhat Salafy Yang Cacat
Syaikh Al Albani memasukkan hadis ini dalam kitabnya Silsilah Ahadits Ad Dhaifah no 4893 dan berkata bahwa hadis ini mungkar. Pernyataan beliau hanyalah mengikut Adz Dzahabi dalam Talkhis Al Mustadrak hadis no 4624 dan Mizan Al I’tidal no 2638 yang berkata “hadis mungkar”. Seperti biasa perkataan ini muncul dari penyakit syiahphobia yang menjangkiti mereka, seolah mereka tidak rela dengan keutamaan Imam Ali, tidak rela kalau hadis ini dijadikan hujjah oleh kaum Syiah, tidak rela kalau keutamaan Imam Ali melebihi semua sahabat yang lain. Apa dasarnya hadis di atas disebut mungkar?. Silakan lihat, adakah kemungkaran dalam hadis di atas. Adakah isi hadis di atas mengandung suatu kemungkaran?. Apakah keutamaan Imam Ali merupakan suatu kemungkaran?. Sungguh sangat tidak bernilai orang yang hanya berbicara mungkar tanpa menyebutkan alasan dan dimana letak kemungkarannya. Begitulah yang terjadi pada Adz Dzahabi dan diikuti oleh Syaikh Al Albani, mereka hanya seenaknya saja menyebut hadis tersebut mungkar. Tentu saja jika suatu hadis disebut mungkar maka akan dicari-cari kelemahan pada sanad hadis tersebut.
Syaikh Al Albani melemahkan sanad hadis ini karena Muawiyah bin Tsa’labah bahwa ia hanya dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Hibban sedangkan Abu Hatim dan Bukhari tidak memberikan komentar yang menta’dil ataupun yang mencacatnya. Memang bagi salafyun tautsiq Ibnu Hibban yang menyendiri tidaklah berharga dengan alasan Ibnu Hibban sering menyatakan tsiqah para perawi majhul. Sayang sekali alasan ini tidak bisa dipukul rata seenaknya. Muawiyah bin Tsa’labah tidak diragukan seorang tabiin dimana Al Hakim berkata tentang tabiin dalam Ma’rifat Ulumul Hadis hal 41
فخير الناس قرناً بعـد الصحـابة من شـافه أصحـاب رسول الله صلى الله عليه وسلّم، وحفظ عنهم الدين والسنن
Sebaik-baik manusia setelah sahabat adalah mereka yang bertemu langsung dengan sahabat Rasulullah SAW, memelihara dari mereka agama dan sunnah.
Jadi kalau seorang tabiin tidak dinyatakan cacat oleh satu orang ulamapun bahkan para ulama semisal Al Bukhari dan Abu Hatim menyebutkan biografinya tanpa menyebutkan cacatnya maka tautsiq Ibnu Hibban dapat dijadikan hujjah, artinya tabiin tersebut seorang yang tsiqah.
Mari kita lihat seorang perawi yang akan menggugurkan kaidah salafy yang seenaknya merendahkan tautsiq Ibnu Hibban, dia bernama Ishaq bin Ibrahim bin Nashr. Ibnu Hajar menyebutkan keterangan tentangnya dalam At Tahdzib juz 1 no 409. Disebutkan oleh Ibnu Hajar bahwa Ishaq bin Ibrahim adalah perawi Bukhari dan hanya Bukhari yang meriwayatkan hadis darinya. Tidak ada satupun ulama yang menta’dil beliau kecuali Ibnu Hibban yang memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Bahkan Al Bukhari yang menuliskan biografi Ibrahim bin Ishaq dalam Tarikh Al Kabir juz 1 no 1212 hanya berkata
إسحاق بن إبراهيم بن نصر أبو إبراهيم سمع أبا أسامة
Ishaq bin Ibrahim bin Nashr Abu Ibrahim mendengar hadis dari Abu Usamah
Adakah dalam keterangan Bukhari di atas ta’dil kepada Ishaq bin Ibrahim?. Tidak ada dan tentu berdasarkan kaidah salafy yang menganggap tautsiq Ibnu Hibban tidak bernilai maka Ishaq bin Ibrahim itu majhul dan hadisnya cacat. Tetapi bertolak belakang dengan logika salafy itu justru Ishaq bin Ibrahim dijadikan hujjah oleh Bukhari dalam kitabnya Shahih Bukhari.
Seperti biasa ternyata syaikh kita satu ini telah menentang dirinya sendiri. Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ahadits As Shahihah no 680 telah memasukkan hadis yang di dalam sanadnya ada perawi yang bernama Abu Sa’id Al Ghifari yang hanya dita’dilkan oleh Ibnu Hibban bahkan Syaikh mengakui kalau Abu Hatim dalam Jarh Wat Ta’dil hanya menyebutkan biografinya tanpa memberikan komentar jarh ataupun ta’dil. Dan yang paling lucunya Syaikh Al Albani mengakui kalau ia menguatkan hadis tersebut karena Abu Sa’id Al Ghifari adalah seorang tabiin. Sungguh kontradiksi syaikh kita satu ini. Mengapa sekarang di hadis Abu Dzar yang berisi keutamaan Imam Ali Syaikh mencampakkan metodenya sendiri dan bersemangat untuk mendhaifkan hadis tersebut. Apa masalahnya wahai syaikh?.
Selain itu Syaikh Al Albani juga menyebutkan syubhat yang lain yaitu ia melemahkan hadis ini karena Abul Jahhaf Dawud bin Abi Auf walaupun banyak yang menta’dilkan Abul Jahhaf, syaikh Al Albani mengutip perkataan Ibnu Ady seperti yang tertera dalam Al Mizan no 2638
ابن عدى فقال ليس هو عندي ممن يحتج به شيعي عامة ما يرويه في فضائل أهل البيت
Ibnu Ady berkata “Menurutku ia bukan seorang yang dapat dijadikan hujjah, seorang syiah dan kebanyakan hadis yang diriwayatkannya adalah tentang keutamaan Ahlul Bait.
Bagaimana mungkin Syaikh mengambil perkataan Ibnu Ady dan meninggalkan Ibnu Ma’in, Ahmad bin Hanbal, Abu Hatim dan An Nasa’i. Seperti yang kami katakan sebelumnya jarh Ibnu Ady diatas tidak bernilai sedikitpun karena alasan seperti itu tidak dibenarkan. Bagaimana mungkin seorang perawi hanya karena ia syiah atau hanya karena ia meriwayatkan hadis keutamaan Ahlul bait maka hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah. Apa namanya itu kalau bukan syiahphobia!. Abul Jahhaf adalah perawi yang tsiqah dan untuk mencacatnya diperlukan alasan yang kuat bukan alasan ngawur seperti yang dikatakan Ibnu Ady karena kalau ucapan Ibnu Ady itu dibenarkan maka alangkah banyaknya perawi yang hadisnya tidak bisa dijadikan hujjah(termasuk hadis Bukhari dan Muslim) hanya karena ia syiah atau hanya karena ia meriwayatkan hadis keutamaan Ahlul bait.
Kesimpulan
Hadis Abu Dzar di atas adalah hadis yang shahih dan para perawinya tsiqat sedangkan syubhat-syubhat salafiyun untuk mencacatkan hadis tersebut hanyalah ulah yang dicari-cari dan tidak bernilai sedikitpun. Sungguh kedengkian itu menutupi jalan kebenaran.
Salam Damai
Bihaqqi Muhammad wa aalih, w ‘ajjil farajahum.. amin
Membaca Salafi, Wahabi dan Khawarij
Friday, June 23 2006
Oleh: Muchtar Luthfi
Dalam melihat faktor kemunculan pemikiran untuk kembali kepada pendapat Salaf menurut Imam Ahmad bin Hambal dapat diperhatikan dari kekacauan zaman saat itu. Sejarah membuktikan, saat itu, dari satu sisi, kemunculan pemikiran liberalisme yang diboyong oleh pengikut Muktazilah yang meyakini keturutsertaan dan kebebasan akal secara ekstrim dan radikal dalam proses memahami agama. Sedang disisi lain, munculnya pemikiran filsafat yang banyak diadopsi dari budaya luar agama, menyebabkan munculnya rasa putus asa dari beberapa kelompok ulama Islam, termasuk Ahmad bin Hambal. Untuk lari dari pemikiran-pemikiran semacam itu, lantas Ahmad bin Hambal memutuskan untuk kembali kepada metode para Salaf dalam memahami agama, yaitu dengan cara tekstual.
————————————————————–
AKHIR-AKHIR INI, di Tanah Air kita muncul banyak sekali kelompok-kelompok pengajian dan studi keislaman yang mengidentitaskan diri mereka sebagai pengikut dan penyebar ajaran para Salaf Saleh. Mereka sering mengatasnamakan diri mereka sebagai kelompok Salafi. Dengan didukung dana yang teramat besar dari negara donor, yang tidak lain adalah negara asal kelompok ini muncul, mereka menyebarkan akidah-akidah yang bertentangan dengan ajaran murni keislaman baik yang berlandaskan al-Quran, hadis, sirah dan konsensus para salaf maupun khalaf.
Dengan menggunakan ayat-ayat dan hadis yang diperuntukkan bagi orang-orang kafir, zindiq dan munafiq, mereka ubah tujuan teks-teks tersebut untuk menghantam para kaum muslimin yang tidak sepaham dengan akidah mereka. Mereka beranggapan, bahwa hanya akidah mereka saja yang mengajarkan ajaran murni monoteisme dalam tubuh Islam, sementara ajaran selainnya, masih bercampur syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul yang harus dijauhi, karena sesat dan menyesatkan. Untuk itu, dalam makalah ringkas ini akan disinggung selintas tentang apa dan siapa mereka. Sehingga dengan begitu akan tersingkap kedok mereka selama ini, yang mengaku sebagai bagian dari Ahlusunnah dan penghidup ajaran Salaf Saleh.
DEFINISI SALAFI
Jika dilihat dari sisi bahasa, Salaf berarti yang telah lalu.[2] Sedang dari sisi istilah, salaf diterapkan untuk para sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ tabi’in yang hidup di abad-abad permulaan kemunculan Islam.[3] Jadi, salafi adalah kelompok yang ‘mengaku’ sebagai pengikut pemuka agama yang hidup dimasa lalu dari kalangan para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. Baik yang berkaitan dengan akidah, syariat dan prilaku keagamaan.[4] Bahkan sebagian menambahkan bahwa Salaf mencakup para Imam Mazhab, sehingga salafi adalah tergolong pengikut mereka dari sisi semua keyakinan keagamaannya.[5] Muhammad Abu Zuhrah menyatakan bahwa Salafi adalah kelompok yang muncul pada abad ke-empat hijriyah, yang mengikuti Imam Ahmad bin Hambal. Kemudian pada abad ketujuh hijriyah dihidupkan kembali oleh Ibnu Taimiyah.[6]
Pada hakekatnya, kelompok yang mengaku sebagai salafi yang dapat kita temui di Tanah Air sekarang ini, mereka adalah golongan Wahabi yang telah diekspor oleh pamuka-pemukanya dari dataran Saudi Arabia. Dikarenakan istilah Wahabi begitu berkesan negatif, maka mereka mengatasnamakan diri mereka dengan istilah Salafi, terkhusus sewaktu ajaran tersebut diekspor keluar Saudi. Kesan negatif dari sebutan Wahabi buat kelompok itu bisa ditinjau dari beberapa hal, salah satunya adalah dikarenakan sejarah kemunculannya banyak dipenuhi dengan pertumpahan darah kaum muslimin, terkhusus pasca kemenangan keluarga Saud -yang membonceng seorang rohaniawan menyimpang bernama Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi- atas semua kabilah di jazirah Arab atas dukungan kolonialisme Inggris. Akhirnya keluarga Saud mampu berkuasa dan menamakan negaranya dengan nama keluarga tersebut. Inggris pun akhirnya dapat menghilangkan dahaga negaranya dengan menyedot sebagian kekayaan negara itu, terkhusus minyak bumi. Sedang pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab, resmi menjadi akidah negara tadi yang tidak bisa diganggu gugat. Selain menindak tegas penentang akidah tersebut, Muhammad bin Abdul Wahab juga terus melancarkan aksi ekspansinya ke segenap wilayah-wilayah lain diluar wilayah Saudi.[7]
Sayyid Hasan bin Ali as-Saqqaf, salah satu ulama Ahlusunnah yang sangat getol mempertahankan serangan dan ekspansi kelompok wahabisme ke negara-negara muslim, dalam salah satu karyanya yang berjudul “as-Salafiyah al-Wahabiyah” menyatakan: “Tidak ada perbedaan antara salafiyah dan wahabiyah. Kedua istilah itu ibarat dua sisi pada sekeping mata uang. Mereka (kaum salafi dan wahabi) satu dari sisi keyakinan dan pemikiran. Sewaktu di Jazirah Arab mereka lebih dikenal dengan al-Wahhabiyah al-Hambaliyah. Namun, sewaktu diekspor keluar (Saudi), mereka mengatasnamakan dirinya sebagai Salafy”. Sayyid as-Saqqaf menambahkan: “Maka kelompok salafi adalah kelompok yang mengikuti Ibnu Taimiyah dan mengikuti ulama mazhab Hambali. Mereka semua telah menjadikan Ibnu Taimiyah sebagai imam, tempat rujukan (marja’), dan ketua. Ia (Ibnu Taimiyah) tergolong ulama mazhab Hambali. Sewaktu mazhab ini berada di luar Jazirah Arab, maka tidak disebut dengan Wahabi, karena sebutan itu terkesan celaan”. Dalam menyinggung masalah para pemuka kelompok itu, kembali Sayyid as-Saqqaf mengatakan: “Pada hakekatnya, Wahabiyah terlahir dari Salafiyah. Muhammad bin Abdul Wahab adalah seorang yang menyeru untuk mengikuti ajaran Ibnu Taimiyah dan para pendahulunya dari mazhab Hambali, yang mereka kemudian mengaku sebagai kelompok Salafiyah”. Dalam menjelaskan secara global tentang ajaran dan keyakinan mereka, as-Saqqaf mengatakan: “Al-Wahabiyah atau as-Salafiyah adalah pengikut mazhab Hambali, walaupun dari beberapa hal pendapat mereka tidak sesuai lagi (dan bahkan bertentangan) dengan pendapat mazhab Hambali sendiri. Mereka sesuai (dengan mazhab Hambali) dari sisi keyakinan tentang at-Tasybih (Menyamakan Allah dengan makhluk-Nya), at-Tajsim (Allah berbentuk mirip manusia), dan an-Nashb yaitu membenci keluarga Rasul saw (Ahlul-Bait) dan tiada menghormati mereka”.[8] Jadi, menurut as-Saqqaf, kelompok yang mengaku Salafi adalah kelompok Wahabi yang memiliki sifat Nashibi (pembenci keluarga Nabi saw), mengikuti pelopornya, Ibnu Taimiyah.
PELOPOR PEMIKIRAN “KEMBALI KE METODE AJARAN SALAF”
Ahmad bin Hambal adalah sosok pemuka hadis yang memiliki karya terkenal, yaitu kitab “Musnad”. Selain sebagai pendiri mazhab Hambali, ia juga sebagai pribadi yang menggalakkan ajaran kembali kepada pemikiran Salaf Saleh. Secara umum, metode yang dipakai oleh Ahmad bin Hambal dalam pemikiran akidah dan hukum fikih, adalah menggunakan metode tekstual. Oleh karenanya, ia sangat keras sekali dalam menentang keikutsertaan dan penggunaan akal dalam memahami ajaran agama. Ia beranggapan, kemunculan pemikiran logika, filsafat, ilmu kalam (teologi) dan ajaran-ajaran lain –yang dianggap ajaran diluar Islam yang kemudian diadobsi oleh sebagian muslim- akan membahayakan nasib teks-teks agama.
Dari situ akhirnya ia menyerukan untuk berpegang teguh terhadap teks, dan mengingkari secara total penggunaan akal dalam memahami agama, termasuk proses takwil rasional terhadap teks. Ia beranggapan, bahwa metode itulah yang dipakai Salaf Saleh dalam memahami agama, dan metode tersebut tidak bisa diganggu gugat kebenaran dan legalitasnya. Syahrastani yang bermazhab ‘Asyariyah dalam kitab “al-Milal wa an-Nihal” sewaktu menukil ungkapan Ahmad bin Hambal yang menyatakan: “Kita telah meriwayatkan (hadis) sebagaimana adanya, dan hal (sebagaimana adanya) itu pula yang kita yakini”.[9] Konsekwensi dari ungkapan Ahmad bin Hambal di atas itulah, akhirnya ia beserta banyak pengikutnya –termasuk Ibnu Taimiyah- terjerumus kedalam jurang kejumudan dan kaku dalam memahami teks agama. Salah satu dampak konkrit dari metode di atas tadi adalah, keyakinan akan tajsim (anthropomorphisme) dan tasybih dalam konsep ketuhanan, lebih lagi kelompok Salafi kontemporer, pendukung ajaran Ibnu Taimiyah al-Harrani yang kemudian tampuk kepemimpinannya dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi.
Suatu saat, datang seseorang kepada Ahmad bin Hambal. Lantas, ia bertanya tentang beberapa hadis. Hingga akhirnya, pertanyaan sampai pada hadis-hadis semisal: “Tuhan pada setiap malam turun ke langit Dunia”, “Tuhan bisa dilihat”, “Tuhan meletakkan kaki-Nya kedalam Neraka” dan hadis-hadis semisalnya. Lantas ia (Ahmad bin Hambal) menjawab: “Kita meyakini semua hadis-hadis tersebut. Kita membenarkan semua hadis tadi, tanpa perlu terhadap proses pentakwilan”.[10]
Jelas metode semacam ini tidak sesuai dengan ajaran al-Quran dan as-Sunnah itu sendiri. Jika diperhatikan lebih dalam lagi, betapa al-Quran dalam ayat-ayatnya sangat menekankan penggunaan akal dan pikiran dalam bertindak.[11] Begitu juga hadis-hadis Nabi saw. Selain itu, pengingkaran secara mutlak campur tangan akal dan pikiran manusia dalam memahami ajaran agama akan mengakibatkan kesesatan dan bertentangan dengan ajaran al-Quran dan as-Sunnah itu sendiri. Dapat kita contohkan secara singkat penyimpangan yang terjadi akibat penerapan konsep tadi. Jika terdapat ayat semisal “Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy”,[12] atau seperti hadis yang menyatakan “Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia pada setiap malam”[13], lantas, disisi lain kita tidak boleh menggunakan akal dalam memahaminya, bahkan cukup menerima teks sebagaimana adanya, maka kita akan terbentur dengan ayat lain dalam al-Quran seperti ayat “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia”.[14] Apakah ayat dari surat Thoha tadi berartikan bahwa Allah bertengger di atas singgasana Arsy sebagaimana Ibnu Taimiyah duduk di atas mimbar, atau turun ke langit dunia sebagaimana Ibnu Taimiyah turun dari atas mimbarnya, yang itu semua berarti bertentangan dengan ayat dari surat as-Syuura di atas. Jadi akan terjadi kontradiksi dalam memahami hakekat ajaran agama Islam. Mungkinkah Islam sebagai agama paripurna akan terdapat kontradiksi? Semua kaum muslimin pasti akan menjawabnya dengan negatif, apalagi berkaitan dengan al-Quran sebagai sumber utama ajaran Islam.
Melihat kelemahan metode dasar yang ditawarkan oleh Ahmad bin Hambal semacam ini, meniscayakan adanya pengeroposan ajaran-ajaran yang bertumpu pada metode tadi. Dalam masalah ini, kembali as-Sahrastani mengatakan: “Berbagai individu dari Salaf telah menetapkan sifat azali Tuhan, semisal; sifat Ilmu, Kemampuan (Qudrat)…dan mereka tidak membedakan antara sifat Dzati dan Fi’li. Sebagaimana mereka juga telah menetapkan sifat khabariyah buat Tuhan, seperti; dua tangan dan wajah Tuhan. Mereka tidak bersedia mentakwilnya, dan mengatakan: itu semua adalah sifat-sifat yang terdapat dalam teks-teks agama. Semua itu kita sebut sebagai sifat khabariyah”. Dalam kelanjutan dari penjelasan mengenai kelompok Salafi tadi, kembali as-Sahrastani mengatakan: “Para kelompok Salafi kontemporer meyakini lebih dari para kelompok Salaf itu sendiri. Mereka menyatakan, sifat-sifat khabari bukan hanya tidak boleh ditakwil, namun harus dimaknai secara zahir. Oleh karenanya, dari sisi ini, mereka telah terjerumus kedalam murni keyakinan tasybih. Tentu, permasalahan semacam ini bertentangan dengan apa yang diyakini oleh para salaf itu sendiri”.[15] Jadi sesuai dengan ungkapan Syahrastani, bahwa mayoritas para pengikut kelompok Salafi kontemporer telah menyimpang dari keyakinan para Salaf itu sendiri. Itu jika kita telaah secara global tentang konsep memahami teks. Akibatnya, mereka akan terjerumus kepada kesalahan fatal dalam mengenal Tuhan, juga dalam permasalahn-permasalahan lainnya. Padahal, masih banyak lagi permasalahan-permasalahan lain yang jelas-jelas para Salaf meyakininya, sedang pengaku pengikut salaf kontemporer (salafi) justru mengharamkan dengan alasan syirik, bidah, ataupun khurafat. Perlu ada tulisan tersendiri tentang hal-hal tadi, dengan disertai kritisi pendapat dan argumentasi para pendukung kelompok Wahabisme.[16] Itulah yang menjadi alasan bahwa para pengikut Salafi (kontemporer) itu sudah banyak menyimpang dari ajaran para Salaf itu sendiri, termasuk sebagian ajaran imam Ahmad bin Hambal sendiri.[17]
FAKTOR MUNCULNYA KELOMPOK SALAFI
Dalam melihat faktor kemunculan pemikiran untuk kembali kepada pendapat Salaf menurut Imam Ahmad bin Hambal dapat diperhatikan dari kekacauan zaman saat itu. Sejarah membuktikan, saat itu, dari satu sisi, kemunculan pemikiran liberalisme yang diboyong oleh pengikut Muktazilah yang meyakini keturutsertaan dan kebebasan akal secara ekstrim dan radikal dalam proses memahami agama. Sedang disisi lain, munculnya pemikiran filsafat yang banyak diadopsi dari budaya luar agama, menyebabkan munculnya rasa putus asa dari beberapa kelompok ulama Islam, termasuk Ahmad bin Hambal. Untuk lari dari pemikiran-pemikiran semacam itu, lantas Ahmad bin Hambal memutuskan untuk kembali kepada metode para Salaf dalam memahami agama, yaitu dengan cara tekstual.
Syeikh Abdul Aziz ‘Izzuddin as-Sirwani dalam menjelaskan factor kemunculan pemikiran kembali kepada metode Salaf, mengatakan: “Dikatakan bahwa penyebab utama untuk memegang erat metode itu –yang sangat nampak pada pribadi Ahmad bin Hambal- adalah dikarenakan pada zamannya banyak sekali dijumpai fitnah-fitnah, pertikaian dan perdebatan teologis. Dari sisi lain, berbagai pemikiran aneh, keyakinan-keyakinan yang bermacam-macam dan beraneka ragam budaya mulai bermunculan. Bagaimana mungkin semua itu bisa muncul di khasanah kelimuan Islam. Oleh karenanya, untuk menyelamatkan keyakinan-keyakinan Islam, maka ia menggunakan metode kembali kepemikiran Salaf”.[18] Hal semacam itu pula yang dinyatakan oleh as-Syahrastani dalam kitab al-Milal wa an-Nihal.
Fenomena semacam ini juga bisa kita perhatikan dalam sejarah hidup Abu Hasan al-Asy’ari pendiri mazhab al-Asyariyah. Setelah ia mengumumkan diri keluar dari ajaran Muktazilah yang selama ini ia dapati dari ayah angkatnya, Abu Ali al-Juba’i seorang tokoh Muktazilah dizamannya. Al-Asy’ari dalam karyanya yang berjudul “al-Ibanah” dengan sangat jelas menggunakan metode mirip yang digunakan oleh Ahmad bin Hambal. Namun karena ia melihat bahwa metode semacam itu terlampau lemah, maka ia agak sedikit berganti haluan dengan mengakui otoritas akal dalam memahami ajaran agama, walau dengan batasan yang sangat sempit. Oleh karenanya, dalam karya lain yang diberi judul “al-Luma’ ” nampak sekali betapa ia masih mengakui campur tangan dan keturutsertaan akal dalam memahami ajaran agama, berbeda dengan metode Ahmad bin Hambal yang menolak total keikutsertaan akal dalam masalah itu. Dikarenakan al-Asy’ari hidup di pusat kebudayaan Islam kala itu, yaitu kota Baghdad, maka sebutan Ahlusunnah pun akhirnya didentikkan dengan mazhabnya. Sedang mazhab Thohawiyah dan Maturidiyah yang kemunculannya hampir bersamaan dengan mazhab Asyariyah dan memiliki kemiripan dengannya, menjadi kalah pamor dimata mayoritas kaum muslimin, apalagi ajaran Ahmad bin Hambal sudah tidak lagi dilirik oleh kebanyakan kaum muslimin. Lebih-lebih pada masa kejayaan Ahlusunnah, kemunculan kelompok Salafi kontemporer yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyah yang sebagai sempalan dari mazhab imam Ahmad bin Hambal, pun tidak luput dari ketidaksimpatian kelompok mayoritas Ahlusunnah. Ditambah lagi dengan penyimpangan terhadap akidah Salaf yang dilakukan Salafi kontemporer (pengikut Ibnu Taimiyah) -yang dikomandoi oleh Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi- serta tindakan arogansi yang dilancarkan para pengikut Salafi tersebut terhadap kalompok lain yang dianggap tidak sependapat dengan pemikiran mereka.
KECURANGAN KELOMPOK SALAFI
Setiap golongan bukan hanya berusaha untuk selalu mempertahankan kelangsungan golongannya, namun mereka juga berusaha untuk menyebarkan ajarannya. Itu merupakan suatu hal yang wajar. Akan tetapi, tingkat kewajarannya bukan hanya bisa dinilai dari sisi itu saja, namun juga harus dilihat dari cara dan sarana yang dipakai untuk mempertahankan kelangsungan dan penyebaran ajaran golongan itu. Dari sisi ini, kelompok Salafi banyak melakukan beberapa kecurangan yang belum banyak diketahui oleh kelompok muslim lainnya. Selain kelompok Ahlusunnah biasa, kelompok Ahli Tasawwuf dari kalangan Ahlusunnah dan kelompok Syiah (di luar Ahlusunnah) merupakan kelompok-kelompok di luar Wahabi (Salafi) yang sangat gencar diserang oleh kelompok Salafi. Kelompok Salafi tidak segan-segan melakukan hal-hal yang tidak ‘gentle’ dalam menghadapi kelompok-kelompok selain Salafi, terkhusus Syiah. Menuduh kelompok lain dari saudara-saudaranya sesama muslim sebagai ahli bid’ah, ahli khurafat, musyrik adalah kebiasaan buruk kaum Salafi, walaupun kelompok tadi tergolong Ahlusunnah. Disisi lain, mereka sendiri terus berusaha untuk disebut dan masuk kategori kelompok Ahlusunnah. Berangkat dari sini, kaum Salafi selalu mempropagandakan bahwa Syiah adalah satu kelompok yang keluar dari Islam, dan sangat berbeda dengan pengikut Ahlusunnah. Mereka benci dengan usaha-usaha pendekatan dan persatuan Sunnah-Syiah, apalagi melalui forum dialog ilmiah. Mereka berpikir bahwa dengan mengkafirkan kelompok Syiah, maka mereka akan dengan mudah duduk bersama dengan kelompok Ahlusunnah. Padahal realitanya tidaklah semacam itu. Karena mereka selalu menuduh kelompok Ahlusunnah sebagai pelaku Bid’ah, Khurafat, Takhayul dan Syirik. Mereka berpikir, sewaktu seorang pengikut Ahlusunnah melakukan ziarah kubur, tahlil, membaca shalawat dan pujian terhadap Nabi, istighotsah, bertawassul dan mengambil berkah (tabarruk) berarti ia telah masuk kategori pelaku syirik atau ahli bid’ah yang telah jelas konsekwensi hukumnya dalam ajaran Islam.
Singkat kata, kebencian itu bukan hanya dilancarkan kepada Ahlusunnah, namun terlebih pada kelompok Syiah. Kebencian kaum Salafi terhadap Syiah, bahkan dilakukan dengan cara-cara tidak ilmiah bahkan cenderung arogan dan premanisme, sebagaimana yang dilakukannya di beberapa tempat. Mereka tahu bahwa kelompok Syiah sangat produktif dalam penerbitan buku-buku, terkhusus buku-buku agama. Karya-karya ulama Syiah mampu mengikuti perkembangan zaman dan dapat memberi masukan dalam menyelesaikan problem intelektual yang sedang dibutuhkan oleh masyarakat. Ulama Syiah mampu mengikuti wacana yang sedang berkembang, plus cara penyampaiannya pun dilakukan dengan cara ilmiah. Hal itulah yang menyebabkan kecemburuan kelompok Salafi terhadap Syiah kian menjadi. Akhirnya, sebagai contoh perbuatan licik yang mereka lakukan, sewaktu diadakan pameran Internasional Book-Fair di Mesir, dimana kelompok Syiah pun turut memeriahkan dengan membuka beberapa stand di pameran tersebut, melihat hal itu, kelompok Salafi (Wahabi) memborong semua kitab-kitab Syiah di stand-stand yang ada, yang kemudian membakar semua kitab yang dibelinya.[19]
Jika mereka berani bersaing dengan kelompok Syiah dari sisi keilmiahan, kenapa mereka melakukan hal itu? Perlakuan mereka semacam itu sebagai salah satu bukti kuat, bahwa mereka tidak terlalu memiliki basis ilmiah yang cukup mumpuni sehingga untuk menghadapi Syiah, mereka tidak memiliki jalan lain kecuali harus menggunakan cara-cara emosional yang terkadang cenderung arogan itu. Cara itu juga yang mereka lakukan terhadap para pengikut tasawuf dan tarekat yang banyak ditemui dalam tubuh Ahlusunnah sendiri, khususnya di Indonesia.
Segala bentuk makar dan kebohongan untuk mengahadapi rival akidahnya merupakan hal mubah dimata pengikut Salafi (Wahabi), karena kelompok Salafi masih terus beranggapan bahwa selain kelompoknya masih dapat dikategorikan pelaku syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul. Perlakuan mereka terhadap kaum muslimin pada musim haji merupakan bukti yang tidak dapat diingkari.
Yang lebih parah dari itu, para pendukung kelompok Salafi –yang didukung dana begitu besar- berani melakukan perubahan pada kitab-kitab standart Ahlusunnah, demi untuk menguatkan ajaran mereka, yang dengan jelas tidak memiliki akar sejarah dan argumentasi (tekstual dan rasional) yang kuat. Dengan melobi para pemilik percetakan buku-buku klasik agama yang menjadi standart ajaran –termasuk kitab-kitab hadis dan tafsir- mereka berani mengeluarkan dana yang sangat besar untuk merubah beberapa teks (hadis ataupun ungkapan para ulama) yang dianggap merugikan kelompok mereka. Kita ambil contoh apa yang diungkapkan oleh Syeikh Muhammad Nuri ad-Dirtsawi, beliau mengatakan: “Merubah dan menghapus hadis-hadis merupakan kebiasaan buruk kelompok Wahabi. Sebagai contoh, Nukman al-Alusi telah merubah tafsir yang ditulis oleh ayahnya, Syeikh Mahmud al-Alusi yang berjudul Ruh al-Ma’ani. Semua pembahasan yang membahayakan kelompok Wahabi telah dihapus. Jika tidak ada perubahan, niscaya tafsir beliau menjadi contoh buat kitab-kitab tafsir lainnya. Contoh lain, dalam kitab al-Mughni karya Ibnu Qodamah al-Hambali, pembahasan tentang istighotsah telah dihapus, karena hal itu mereka anggap sebagai bagian dari perbuatan Syirik. Setelah melakukan perubahan tersebut, baru mereka mencetaknya kembali. Kitab Syarah Shohih Muslim pun (telah dirubah) dengan membuang hadis-hadis yang berkaitan dengan sifat-sifat (Allah), kemudian baru mereka mencetaknya kembali”.[20]
Namun sayang, banyak saudara-saudara dari Ahlusunnah lalai dengan apa yang mereka lakukan selama ini. Perubahan-perubahan semacam itu, terkhusus mereka lakukan pada hadis-hadis yang berkaitan dengan keutamaan keluarga (Ahlul-Bait) Nabi. Padahal, salah satu sisi kesamaan antara Sunni-Syiah adalah pemberian penghormatan khusus terhadap keluarga Nabi. Dari sinilah akhirnya pribadi seperti sayyid Hasan bin Ali as-Saqqaf menyatakan bahwa mereka tergolong kelompok Nashibi (pembenci keluarga Rasul).
Dalam kitab tafsir Jami’ al-Bayan, sewaktu menafsirkan ayat 214 dari surat as-Syu’ara: “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabat-mu yang terdekat”, disitu, Rasulullah mengeluarkan pernyataan berupa satu hadis yang berkaitan dengan permulaan dakwah. Dalam hadis yang tercantum dalam kitab tafsir tersebut disebutkan, Rasul bersabda: “Siapakah diantara kalian yang mau menjadi wazir dan membantuku dalam perkara ini -risalah- maka akan menjadi saudaraku…(kadza…wa…kadza)…”. Padahal, jika kita membuka apa yang tercantum dalam tarikh at-Thabari kata “kadza wa kadza” (yang dalam penulisan buku berbahasa Indonesia, biasa digunakan titik-titik) sebagai ganti dari sabda Rasul yang berbunyi; “Washi (pengganti) dan Khalifah-ku”. Begitu pula hadis-hadis semisal, “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya” yang dulu tercantum dalam kitab Jaami’ al-Ushul karya Ibnu Atsir, kitab Tarikh al-Khulafa’ karya as-Suyuthi dan as-Showa’iq al-Muhriqoh karya Ibnu Hajar yang beliau nukil dari Shohih at-Turmudzi, kini telah mereka hapus. Melakukan peringkasan kitab-kitab standard, juga sebagai salah satu trik mereka untuk tujuan yang sama. Dan masih banyak usaha-usaha licik lain yang mereka lancarkan, demi mempertahankan ajaran mereka, terkhusus ajaran kebencian terhadap keluarga Nabi. Sementara sudah menjadi kesepakatan kaum muslimin, bahwa mencintai keluarga Nabi adalah suatu kewajiban, sebagaimana Syair yang pernah dibawakan oleh imam Syafi’i:
“Jika mencintai keluarga Muhammad adalah Rafidhi (Syiah), maka saksikanlah wahai ats-Tsaqolaan (jin dan manusia) bahwa aku adalah Rofidhi”.[21]
SALAFI (WAHABI) DAN KHAWARIJ
Tidak berlebihan kiranya jika sebagian orang beranggapan bahwa kaum Wahabi (Salafi) memiliki banyak kemiripan dengan kelompok Khawarij. Melihat, dari sejarah yang pernah ada, kelompok Khawarij adalah kelompok yang sangat mirip sepak terjang dan pemikirannya dengan kelompok Wahabi. Oleh karenanya, bisa dikatakan bahwa kelompok Wahabi adalah pengejawantahan kelompok Khawarij di masa sekarang ini. Disini, secara singkat bisa disebutkan beberapa sisi kesamaan antara kelompok Wahabi dengan golongan Khawarij yang dicela melalui lisan suci Rasulullah saw, dimana Rasul memberi julukan golongan sesat itu (Khawarij) dengan sebutan “mariqiin”, yang berarti ‘lepas’ dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya.[22]
Paling tidak ada enam kesamaan antara dua golongan ini yang bisa disebutkan. Pertama, sebagaimana kelompok Khawarij dengan mudah menuduh seorang muslim dengan sebutan kafir, kelompok Wahabi pun sangat mudah menuduh seorang muslim sebagai pelaku syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul. Yang semua itu adalah ‘kata halus’ dari pengkafiran, walaupun dalam beberapa hal memiliki kesamaan dari konsekwensi hukumnya. Abdullah bin Umar dalam mensifati kelompok Khawarij mengatakan: “Mereka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir, lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman”.[23] Ciri-ciri semacam itu juga akan dengan mudah kita dapati pada pengikut kelompok Salafi (Wahabi) berkaitan dengan saudara-saudaranya sesama muslim. Bisa dilihat, betapa mudahnya para rohaniawan Wahabi (muthowi’) menuduh para jamaah haji sebagai pelaku syirik dan bid’ah dalam melakukan amalan yang dianggap tidak sesuai dengan akidah mereka.
Kedua, sebagaimana kelompok Khawarij disifati sebagaimana yang tercantum dalam hadis Nabi: “Mereka membunuh pemeluk Islam, sedang para penyembah berhala mereka biarkan”,[24] maka sejarah telah membuktikan bahwa kelompok Wahabi pun telah melaksanakan prilaku keji semacam itu. Sebagaimana yang pernah dilakukan pada awal penyebaran Wahabisme oleh pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab. Pembantaian berbagai kabilah dari kaum muslimin mereka lakukan dibeberapa tempat, terkhusus diwilayah Hijaz dan Iraq kala itu.
Ketiga, sebagaimana kelompok Khawarij memiliki banyak keyakinan yang aneh dan keluar dari kesepakatan kaum muslimin, seperti keyakinan bahwa pelaku dosa besar dihukumi kafir, kaum Wahabi pun memiliki kekhususan yang sama.
Keempat, seperti kelompok Khawarij memiliki jiwa jumud (kaku), mempersulit diri dan mempersempit luang lingkup pemahaman ajaran agama, maka kaum Wahabi pun mempunyai kendala yang sama.
Kelima, kelompok Khawarij telah keluar dari Islam dikarenakan ajaran-ajaran yang menyimpang, maka Wahabi pun memiliki penyimpangan yang sama. Oleh karenanya, ada satu hadis tentang Khawarij yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya, yang dapat pula diterapkan pada kelompok Wahabi. Rasul bersabda: “Beberapa orang akan muncul dari belahan Bumi sebelah timur. Mereka membaca al-Quran, tetapi (bacaan tadi) tidak melebihi batas temggorokan. Mereka telah keluar dari agama (Islam), sebagaimana terkeluarnya (lepas) anak panah dari busurnya. Tanda-tanda mereka, suka mencukur habis rambut kepala”.[25] Al-Qistholani dalam mensyarahi hadis tadi mengatakan: “Dari belahan bumi sebelah timur” yaitu dari arah timur kota Madinah semisal daerah Najd.[26] Sedang dalam satu hadis disebutkan, dalam menjawab perihal kota an-Najd: “Di sana terdapat berbagai goncangan, dan dari sana pula muncul banyak fitnah”.[27] Atau dalam ungkapan lain yang menyebutkan: “Disana akan muncul qorn setan”. Dalam kamus bahasa Arab, kata qorn berartikan umat, pengikut ajaran seseorang, kaum atau kekuasaan.[28]
Sedang kita tahu, kota Najd adalah tempat lahir dan tinggal Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi, pendiri Wahabi. Kota itu sekaligus sebagai pusat Wahabisme, dan dari situlah pemikiran Wahabisme disebarluaskan kesegala penjuru dunia.
Banyak tanda zahir dari kelompok tersebut. Selain mengenakan celana atau gamis hingga betis, mencukur rambut kepala sedangkan jenggot dibiarkan bergelayutan tidak karuan adalah salah satu syiar dan tanda pengikut kelompok ini.
Keenam, sebagaimana kelompok Khawarij meyakini bahwa “negara muslim” (Daar al-Salam) jika penduduknya banyak melakukan dosa besar, maka dapat dikategorikan “negara zona perang” (Daar al-Harb), kelompok radikal Wahabi pun meyakini hal tersebut. Sekarang ini dapat dilihat, bagaimana kelompok-kelompok radikal Wahabi –seperti al-Qaedah- melakukan aksi teror diberbagai tempat yang tidak jarang kaum muslimin juga sebagai korbannya.
Tulisan ringkas ini mencoba untuk mengetahui tentang apa dan siapa kelompok Salafi (Wahabi). Semoga dengan pengenalan ringkas ini akan menjadi kejelasan akan kelompok yang disebut-sebut sebagai Salafi ini, yang mengaku penghidup kembali ajaran Salaf Saleh. Sehingga kita bisa lebih berhati-hati dan mawas diri terhadap aliran sesat dan menyesatkan yang telah menyimpang dari Islam Muhammadi tersebut.
Penulis: Adalah mahasiswa pasca sarjana Perbandingan Agama dan Mazhab di Universitas Imam Khomaini Qom, Republiks Islam Iran.
Rujukan:
[2] Lisan al-Arab Jil:6 Hal:330
[3] As-Salafiyah Marhalah Zamaniyah Hal:9, karya Dr. M Said Ramadhan Buthi
[4] As-Shohwat al-Islamiyah Hal:25, karya al-Qordhowi
[5] Al-Aqoid as-Salafiyah Hal: 11, karya Ahmad bin Hajar Aali Abu Thomi
[6] Al-Madzahib al-Islamiyah Hal:331, karya Muhammad Abu Zuhrah
[7] Untuk lebih jelasnya, dapat ditelaah lebih lanjut kitab tebal karya penulis Arab al-Ustadz Nasir as-Sa’id tentang sejarah kerajaan Arab Saudi yang diberi judul “Tarikh aali Sa’ud”. Karya ini berulang kali dicetak. Disitu dijelaskan secara detail sejarah kemunculan keluarga Saud di Jazirah Arab hingga zaman kekuasaan raja Fahd. Dalam karya tersebut, as-Said menetapkan bahwa keluarga Saud (pendiri) kerajaan Arab Saudi masih memiliki hubungan darah dan emosional dengan Yahudi Arab.
[8] Selengkapnya silahkan lihat: As-Salafiyah al-Wahabiyah, karya Hasan bin Ali as-Saqqaf, cet: Daar al-Imam an-Nawawi, Amman-Yordania
[9] Al-Milal wa an-Nihal Jil:1 Hal:165, karya as-Syahrastani
[10] Fi ‘Aqo’id al-Islam Hal:155, karya Muhammad bin Abdul Wahab (dalam kumpulan risalah-nya)
[11] Ayat-ayat al-Quran yang bebunyi “afalaa ta’qiluun” (Apakah kalian tidak memakai akal) atau “Afalaa tatafakkarun” (Apakah kalian tidak berpikir) dan semisalnya akan sangat mudah kita dapati dalam al-Quran. Ini semua salah satu bukti konkrit bahwa al-Quran sangat menekankan penggunaan akal dan mengakui keturutsertaan akal dalam memahami kebenaran ajaran agama.
[12] Q S Thoha:5
[13] Al-Washiyah al-Kubra Hal:31 atau Naqdhu al-Mantiq Hal:119 karya Ibnu Taimiyah
[14] Q S as-Syura:11
[15] Al-Milal wa an-Nihal Jil:1 Hal:84
[16] Banyak hal yang terbukti dengan argumen teks yang mencakup ayat, riwayat, ungkapan dan sirah para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in diperbolehkan, namun paea kelompok Salafi (Wahabi) mengharamkannya, seperti masalah; membangun dan memberi cahaya lampu pada kuburan, berdoa disamping makam para kekasih Ilahi (waliyullah), mengambil berkah dari makam kekasih Allah, menyeru atau meminta pertolongan dan syafaat dari para kekasih Allah pasca kematian mereka, bernazar atau sumpah atas nama para kekasih Allah, memperingati dan mengenang kelahiran atau kematian para kekasih Allah, bertawassul, dan melaksanakan tahlil (majlis fatehah)…semua merupakan hal yang diharamkan oleh para kelompok Salafi, padahal banyak ayat dan riwayat, juga prilaku para Salaf yang menunjukkan akan diperbolehkannya hal-hal tadi.
[17] Salah satu bentuk penyimpangan kelompok Wahabi terhadap ajaran imam Ahmad bin Hambal adalah pengingkaran Ibnu Taimiyah terhadap berbagai hadis berkaitan dengan keutamaan keluarga Rasul, yang Imam Ahmad sendiri meyakini keutamaan mereka dengan mencantumkannya dalam kitab musnadnya. Dari situ akhirnya Ibnu Taimiyah bukan hanya mengingkari hadis-hadis tersebut, bahkan melakukan pelecehan terhadap keluarga Rasul, terkhusus Ali bin Abi Thalib. (lihat: Minhaj as-Sunnah Jil:8 Hal:329) Dan terbukti, kekhilafahan Ali sempat “diragukan” oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “Minhaj as-Sunnah” (lihat: Jil:4 Hal:682), dan ia termasuk orang yang menyebarluaskan keraguan itu. Padahal, semua kelompok Ahlusunnah “meyakini” akan kekhilafahan Ali. Lantas, masihkah layak Ibnu Taimiyah beserta pengikutnya mengaku sebagai pengikut Ahlussunnah?
[18] al-Aqidah li al-Imam Ahmad bin Hambal Hal:38
[19] As-Salafiyah baina Ahlusunnah wa al-Imamiyah Hal:680
[20] Rudud ‘ala Syubahaat as-Salafiyah Hal:249
[21] Diwan as-Syafi’i Hal:55
[22] Musnad Ahmad Jil:2 Hal:118
[23] Sohih Bukhari Jil:4 Hal:197
[24] Majmu’ al-Fatawa Jil:13 Hal:32, karya Ibnu Taimiyah
[25] Shahih Bukhari, kitab at-Tauhid Bab:57 Hadis ke-7123
[26] Irsyad as-Saari Jil:15 Hal:626
[27] Musnad Ahmad Jil:2 Hal:81 atau Jil:4 Hal:5
[28] Al-Qomuus Jil:3 Hal:382 kata: Qo-ro-na
Alhamdulillah akhi Yahya
To Hendriawan.
Antum harus tabayun sebelum menyebarkan fitnah … “HUKUMANNYA BESAR ” saya tulis lagi yang antum posting kan ini>>Mereka sesuai (dengan mazhab Hambali) dari sisi keyakinan tentang at-Tasybih (Menyamakan Allah dengan makhluk-Nya), at-Tajsim (Allah berbentuk mirip manusia), dan an-Nashb yaitu membenci keluarga Rasul saw (Ahlul-Bait) dan tiada menghormati mereka”.[8] Jadi, menurut as-Saqqaf, kelompok yang mengaku Salafi adalah kelompok Wahabi yang memiliki sifat Nashibi (pembenci keluarga Nabi saw), mengikuti pelopornya, Ibnu Taimiyah.<<< kalau antum tidak minta maaf , maka sungguh akan besar dosa2 antum. dan tunggulah adzab yang mengerikan baik dunia maupun akherat.
Untuk Saudaraku Hendriawan, semoga Allah memberikan hidayah kepadanya.
Maaf kalau baru sekarang saya mau mengomentari. Semula ana ingin membantah artikel yang antum nukil dari Muchtar Luthfi di atas secara agak luas, namun ternyata cukuplah sebagai bantahan pengakuannya di akhir tulisan bahwa dia mahasiswa di universitas Imam Khomaini, di Iran. Oleh karena itu sangat nyata sekali dari artikel tersebut bau aroma pemahaman Syi’ah yang sangat mudah menebar kedustaan dan tuduhan-tuduhan keji tanpa bukti. Bacalah buku-buku kami “Membela Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah” “Meluruskan Sejarah Wahhabi” dan “Syeikh al-Albani Dihujat” insyallah antum akan mendapatkan jawaban yang memuaskan tentang kedustaan-kedustaan yang terdapat dalam artikel di atas. Wallahu A’lam.
Mas Abu, kami butuh sanggahan yang ilmiyah… bukan dari buku-buku yang anda karang sendiri… dan anda juga harus tau.. pernyataan saudara hendrawan itu bukan semata-mata artikel. tapi ada rafrensi yang kongkrit. baik dari turats atau buku-buku modern lainnya.
kemudian anda mengatkan abdul qadir jaelani ada tergilinciran..,, memang sebagai manusia biasa, bukan rasul pasti ada salah… apalagi anda..
kalau memang anda itu merasa benar, buktikan kebenaran anda di forum ilmiah.. dari sana anda akan merasa puas apabila menang dalam argumen anda, dan anda akan lebih toleransi dengan argumen orang apabila argumen anda salah.
saya yakin anda mengerti al-qur’an..,,, coba anda baca surat yunus ayat 41…
kami akan terus membela muslim indonesia dalam beribadah dan berbudaya mereka… ingat,,, ibadah dan budaya… ibadah dan budaya…
anda tidak puas…. anda marah…. kami akan membuka FORUM ILMIYAH antara kami dengan anda.. kita pertanggungjawabkan argumen kita didepan audiens…
hubungi kami di el_shafa@yahoo.com
mari mengikuti perkembangan artikel ini. tapi kelihatan ya……ya ustad, saya yakin ustad mampu menjawab syubhat di atas (saya mbaca aja ketawa, bisa2nya al-Qaeda disambung ke manhaj ini). tapi nggak papa kan ya ustad, memang dakwah tauhid itu sejak awal kayak gini….full tantangan….
sebelum buka forum ilmiah dengan syiah, sebaiknya dibuat perjanjian terlebih dahulu dengan syiah; bahwa Alquran kita sama tidak ada perbedaan, mengakui sahabat-sahabat Muhammad Salallohu alaihi wasalam seperti Abu Bakar, Umar bin Khotob, Utsman bin Affan, Aisyah (Ummul Mukminin), dan yang lainnya. setelah itu mari kita lanjutkan debat ilmiahnya….. (buat perjanjiannya di depan kaum muslimin).
BERANI.??????????????????????????????????????
Subhanalloh….dakwah TAUHID tantangannya sungguh luar biasa…ayo para panji AHLUSSUNNAH tetap istiqomah dalam menegakkan AL HAQ tuk melawan kebathilan
Awas syiah lagi berusaha memasukkan syubhat-syubhat mereka di forum ini. Ucapan mereka sungguh penuh dengan fitnah. Syiah dan Umat Islam tidak mungkin bersatu selama-lamanya. Ajaran mereka dibangun atas dasar Taqiyyah. Semoga kita dijauhkan dari orang-orang yang mencela Para Shahabat Rasulullah
bukankah buku-buku karangan Ustadz Abu Ubaidah adalah karya ilmiah. kalo antum membacanya, niscaya akan menemukan jawaban ilmiah, bukan jawaban mengarang.
Subhanalloh artikelnya cukup bagus, jazakalloh.
Barokallohufiikum ya ustadz.
To. Akhmad Khoeruddin Al-bantani
Dari comment yg antum tulis terkesan antum memberi komentar dg bahasa yg profokatif. bisakah antum dalam mengisi comment ini menggunakan bahasa yg lebih islami?
atau setidaknya BAHASA yang BERBUDAYA!
antum menulis, “kami akan terus membela muslim indonesia dalam beribadah dan berbudaya mereka… ingat,,, ibadah dan budaya… ibadah dan budaya…”
Pertanyaan ana :
1.bagaimana dengan muslim indonesia yg masih suka sesaji, sedekah bumi, sedekah laut Dan lain-lain,
apakah budaya itu tetap antum bela?
2. Apakah antum masih melakukan budaya-budaya itu?
3. MAna yg didahulukan AGAMA atau BUDAYA?
Semoga kita semua terhindar dari fitnah dan diberi kekuatan dalam beragama, amin
Ustadz, ana izin COPA y,
jazakalloh
pertanyaannya adalah:
Sekredibel apakah ustadz Abu Ubaidah Yusuf ini…?
belajar dimana dia…?
hafal qur’ankah..?
berapa ribu hadist yang dihafalnya…?
hafal tafsirkah…?
apakah ia mempunyai sanad dalam hadist….?
sehingga kok beraninya merekomendasikan buku yang dilarang…?
KEBENARAN itu TIDAK SELALU harus ilmiah.
Bgitupun semua yg dianggap ilmiah TIDAK SELALU BENAR.
sebuah catatan:
Agama ini TELAH SEMPURNA. Dan tidak butuh penambhan dari manusia manapun.
Penambahan2 yg dilakukan oleh sebagian manusia trhdp agama ini hanya akan membuat LEMAH agama ini.
Lihatlah kenyataan skarang!
artikel di atas bukan artikel dari karangan Ustadz Abu Ubaidah sendiri. beliaua menukil ulama yang lebih kredibel dan kompeten dari beliau, seperti Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, Al Albani, Sholih Fauzan, Abdullah Al Jibrin, Bakr Abu Zaid dan Dr Imron AM.
pertanyaan paling penting, “Bisakah antum membantah artikel di atas secara ilmiah?”
@nahl muslim :
Maaf, lalu sekredibel apakah antum? Tolong, jgn emosi dgn artikel diatas. Kalo memang antum punya sanad hadits yg amat sangat kredibel, bawakan saja kesini untuk membantah artikel ustadz abu. Saya ingin belajar jg dari antum. Dan tolong baca artikel diatas dengan seksama. Ustadz Abu ubaidah tidak merekomendasikan kitab2 diatas, malahan beliau menyuruh kita untuk waspada terhadap kitab2 tersebut. Maksud hati ingin mengkritik ustadz Abu, apa daya membaca artikelnya saja blm….ck ck ck….
semoga ustadz abu ubaidah segera menyadari kesalahan – kesalahan dalam mengelola artikel web ini….
belajar dulu yang benar, jangan dulu keburu menghukumi sana – menghukumi sini … ini salah , ini benar… padahal 1000 hadist aja ndak hafal. Padahal baru selembar dari lautan kitab ulama yang dibaca….ulama islam itu banyak…bukan hanya dari saudi, bukan hanya syaikh Albani dan murid-muridnya…..
paham salafy ini adalah paham baru muncul ,….sedangkan Islam sudah ada sejak dahulu kala…
ingat …betapa banyak orang yang hari ini berpendapat demikian besoknya berpendapat lain lagi.
Ikutilah syaikh yang benar – benar ulama….
ikutilah mujahid yang benar – benar mujahid…
ikutilah muhaddits yang benar – benar muhadit….
jangan tertipu…
ana katakan…ana muslim.
jadi intinya gimana nih, kok jadi nggantung gini, takutnya salah ngambil keputusan
wahai umat islam.
Islam itu santun. Guru ngajiku bilang, intepretasi Islam ada dipulau JAWA. Bagaimana santun nya,tingkah lakunya, tindak tanduknya,toleransinya, saling hormat menghormati, dan kehalusan budi pekerti orang2 jawa.
Kita manusia tidak berhk untuk menghukum dosa sesama muslim. Tugas kita adalah beribadah, yang berhak menghukum hanyalah Allah. Kita telah diberi pegangan Al Qur’an dan Hadist, sesungguhnya perbedaan Umat islam hanyalah selalu di Hadist. Sadarlah bahwa lebih baik kita jangan berdebat, yang perbedaan sejak dulum kala tidak dipermasalahkan. membikin banyak musuh…. hamba Allah yang selalu mengaji
Terima kasih ustadz atas tulisannya, Insya Allah bermanfaat. Mudah mudahan aku gak ketipu ama tukang obat jaman sekarang yang bisanya cuma bisa ngitungin sanat aja, ngaku apal 100.000 hadis tapi gak punya karya tulis, senangnya nyanyi nyanyi doang, ganggu orang yang masbuk sholat ajah… cappee dee
tetangga ane kemaren ngaku sesanat ama moyang ane agar dapet jatah warisan, tapi Alhamdulillah dipengadilan ketuan boong. Itu baru sanat 1 abad yang lalu, apalagi 14 abad dah berlalu dimana teknologi pencatatan gak secanggih sekarang… Kasian ane sama ustad dikampung, nyampai in agama yang agung ini dilecehin karena cuma ingat sanat sampe kakeknya doang..
@Nahl Muslim:
Antum jahil terhadap ilmu,JUHALA, SESAT, MENYESATKAN.
Assalamua’alaikum,
Kepada Ustadz Ubaidah, saya tunggu tulisan-tulisannya. Semoga Allah Subhanahu wata’ala memberikan rahmat kepada Anda dan menambahkan ‘ilmu.
Saya menyambut baik artkel Anda yang menelaah kitab-kitab yang mengatasnakan “Allah dan Rosul”-nya.
Hemat saya, masih ada kondisi disekitar kita yang perlu kita kaji. Kususnya perlakuan berlebihan terhadap benda atau objek, mohon untuk mendapat tempat. Misal Penggunaan “DADU” dalam statistika dan penelitian sosial, pemanfaatan probabilitas untuk menarik hukum kausalitas (sebab-akibat). Bukankah mereka yang “mempraktekkan” akan ditanya Allah dan di konfrontir dengan objek-objek tentang anggapan dan perlakuan kita terhadapnya. Mohon masalah-masalah aktual yang menggunakan kedok “sains”, yang diajukan oleh para ilmuwan juga mendapat perhatian. Millah-millah mereka yang kita praktekkan secara tidak langsung merusak syariat yang sudah digariskan dalam Qur’an dan Hadist. Bukankah hati pendengaran dan ucapan kita akan dipertanggung-jawabkan kepada Allah.
Mohon maaf bila ada tutur kata yang menyinggung pihak tertentu. Saya kira ulama juga berkewajiban meluruskan praktek atau tindakan umat, meski sekilas itu menyangkut “urusan-urusan dunia”, namun itu realita umat.
Fatwa ulama selalu kami tunggu.
Wassalaamu’alaikum.
Assalaamualaikum,
Sebelumnya saya mohon maaf kalau komentar saya tidak berkenan karena kebodohan saya. Selama ini saya mengikuti pengajian2 bermanhaj salaf juga membaca buku2 yang ditulis oleh ulama dan ustadz bermanhaj salaf. Menurut penilaian saya (yang masih sangat kurang ilmu) beliau2 justru sangat menghormati Ahlul-Bait, para sahabat, para tabi’in, dan tabiit tabi’in (semoga penilaian saya tidak salah). Beliau santun tetapi tegas (bukan keras). Beliau tidak suka membid’ahkan suatu perkara dalam agama kecuali perkara tersebut memang diada-adakan (tidak dicontohkan nabi). Beliau (ustadz) justru tidak memperbolehkan semua orang mengkafirkan seseorang kecuali yang memiliki ilmu (ulama). Beliau tidak pernah menganjurkan bertaqlid buta dalam beragama.
Kembali ke artikel di atas. Kalau kita membaca dengan saksama, sebenarnya yang mengingatkan berhati-hati terhadap kitab tersebut memang bukan Ustadz Abu Ubaidah Yusuf, tetapi dari ulama. Hal ini justru menandakan kejujuran ustadz akan “sedikitnya ilmu” sebagaimana yang di tuduhkan saudaraku Nahl Muslim.
Ya Allah bila komentar saya ini salah, itu karena kebodohan saya, maka ampunilah saya.
Sekali lagi saya mohon maaf bila saya khilaf dalam berkomentar.
Wassalaamualaikum
Untuk Ahmad Khoiruddin al-Bantani said.
Antum baca dulu Buku Ustadz Abu Ubaidah dengan hati yang jernih.
Hati yang bersih dari Fanatik buta.
Hati yang jauh dari dengki
surat yunus ayat 41…
Bukan Hujjah untuk Ahmad Khoiruddin al-Bantani said atas Ustadz Abu Ubaidah tapi Hujjah untuk Ustadz Abu Ubaidah atas Ahmad Khoiruddin al-Bantani said.
Renungkanlah Wahai Ahmad Khoiruddin al-Bantani said
untuk semua pengunjung blog ini, berhati-hatilah dengan lisan kita. semua akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. terlebih dengan ucapan kotor dan peredikat2 negatif kepada lawan bicara kita.
untuk mas abu ubaidillah, saya hanya melihat referensi antum dari ulama-ulama saudi terkhusus bin baz, utsaimin, al albani. coba antum baca kitab ulama-ulama yang dihujat oleh mereka. disana juga pasti ada kebenaran. apalagi kita hanya membaca buku terjemahan atau buku-buku yang dinisbatkan kepada ulama terdahulu. padahal buku yang dibaca bukanlah tulisan ulama terdahulu.
sebagai orang awam saya melihat artikel yang ditulis oleh sdr lutfi di atas cukup bagus dan ilmiah. saya rasa antum perlu menjawabnya dengan baik supaya terlihat bahwa apa yang ustad abu ubaidilah pertahankan ttg kebenaran dapat dilihat oleh pengunjung blog ini.
assalamualaikum wr.wb
mengapa harus dibakar dan dibuang?…………..
bukankah para asatid tahu kalau itu dilarang karena sudah membacanya?….
saya pikir zaman sekarang orang sudah berfikir dewasa mereka tahu mana yang harus diambil dan mana yang harus dibuang
tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada para guru,teman-teman diblog ini,terus terang saya juga mempunyai sebagaian kitab yang perlu diwaspadai sebagaimana yang disebutkan diblog ini,namun saya tetap menyimpannya dan membacanya ,selama itu baik dan tidak ada hubungannya dengan ibadah maghdoh insaallah tetep saya terima
abu ubaidah dan puak2 wahabi…. kenapa kalian tidak habis2nya mengkafirkan ulama . wahabi itu pemecah belah ummat dan pendukung kolonial inggris saat merebut kerajaan su’ud. syekh ustaimin jg dengah mudah mngkafirkan org sama dngn si abdllah bib baz. mereka (albani aljahili, utsaimin at-takabburi dan ibnu baz al-ghafilin) bukan mujtahid tp penggumbar fitnah kepada ahlussunnah wal jama’ah. wahabi pandainya membagi-bagikan buku gratis kepada jama’ah haji di indonesia krn tak sanggup mengajar secara majelis ta’lim krn takut di debat /laga argumen oleh anak santri di indonesia (jd mereka wahabi cukup dilawan oleh para santri yg baru tingkat ‘aliyah bahkan tsanawiah) belum lg oleh para abi dan kiyai ya ..kalang kabut krn ga’ kuasai ilmu tp hanya pandai nulis copypaste dari internetan aja..wahabi ..wahabi.. tobat ..tobat… datang ke pesantren aja belajar dulu ilmu-ilmu agama kayak nahwu sharaf, ilmu ma’ani , bayan dan badi’ serta ushul fiqh..
tauhid tiga serangkai bukti kerancuan tauhid wahabi dari najed
syukran jazilan buat postingnya : hendriawan says
Membaca Salafi, Wahabi dan Khawarij
Friday, June 23 2006
Oleh: Muchtar Luthfi
lanjutkan biar kebohongan wahabi trbongkar…..
Bismillah
Assalamualaikum, sebelum terlalu jauh. Ana dapat qur’an syi’ah dan berbeda dengan qur’an yang selama ini kita pegangi. Jadi untuk apa berdebat dengan dalil qur’an kalau qur’an saja sudah berbeda?
wal iyadzubillah
Bagi yg mencari kebenaran…….perbanyaklah memohon dan meminta kepada Allah spy diberikan hidayah dan petunjuk jalan yg lurus………lapangkan hati tanamkan keikhlasan.
Ketika hawa nafsu berkuasa…….maka Allah akan membiarkan kesesatan tumbuh subur dalam dirinya
Ketika keikhlasan dan kepasrahan tertuju kepadaNya……maka Insya Allah akan mengarahkannya kepada kebenaran dan keselamatan
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Salam hormat untuk Semua disini semoga Allah selalu merahmati kita.
Maaf saya yang kurang ilmu dan baru belajar alif.
Bismillahirrahman Nirrahim
Kenapa sesama muslim saling berbantahan dan menganggap dirinya benar, kenapa bisa mendakwakan ini salah ini dosa sedangkan pada manusia berlaku hukum “Laa Hawla Wala Quwatah illa billah”, Mengapa kita tidak ber istigfar..sedangkan yang kita tahu Yang Maha Benar hanya Allah saja. Mengapa kita merasa bisa memahami Al Quran sedangkan Al Quran itu 80 % Hablum Minanas 20 % Hablum Minallah. Sedangkan Ahli Tafsir dan Musnad saling menghormati. Apakah dalam kubur nanti di tanyakan apa musnad anda. apa tafsir anda..
Ilmu Allah itu luas sedangkan air lautpun kering jika jadi tintanya hanya untuk menulis sedikit ilmunya. saya pribadi takut mengambil tugas Allah untuk mengatakan anda berdosa. saya pribadi takut melarang orang menyebut Asmaul husna dengan keyakinanan jika hajat tercapai. karena Allah Maha Bijaksana. selama Nama Nya tidak disandingkan dengan Mahluk ciptaan Nya selain Baginda Nabi yang Mustafa maka saya tiada kuasa melarangnya. selama tidak dicampur dengan kebatilan yang ada. Sesungguhnya segala sesuatu tergantung niatnya,
Islam adalah suatu agama yang Salam. selama masih sama Aqidahnya, Al quran dan Nabinya maka jadikan ia saudara.
Jauhkan berbantahan yang tiada gunanya karena musuh yang nyata ada didepan Mata.
Sesungguhnya Manusia yang berguna yang bermanfaat pada sekitarnya.
Sesungguhnya pada musuh yang nyata terdapat jual beli yang luar biasa..Jihad Fisabilillah. At-Taubah [111] : tapi jika ingin Islam menjadi lemah ya silahkan saja. kita lupa musuh yang nyata sudah pegang senjata..
Maaf dari saya yang lemah pengetahuannya.
Yang benar dari Allah yang salah tentu dari saya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Assalamu’alaikum……
ada kitab yang begitu menarik,,yakni Nasihat Salaf untuk Salafy
dari Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid… dan Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-‘Abbad…
banyak sekali nasihat yang bisa kita peroleh,,,
terutama untuk saudaraku yang mengaku salafiyun…..
dan yang tidak mengaku salafiyun ya tidak apa bila ingin membacanya…
karena agama adalah nasehat…
semoga ALLAH mematikan kita dalam keadaan Islam dan Sunnah….
karena islam saja tidak cukup,,,,,
kecuali harus dengan sunnah
Mas Hendriawan, anda menukil pendapat ulama-ulama sunni sepenggal tanpa lengkap, sedangkan yg anda tukil kebanyakan dari ulama-ulama syiah, berarti anda adalah pendukung syiah karena anda tidak menyebutkan kebaikan-kebaikan shahabat selain Ali ra, bukan? hem
Rusia udah keluar angkasa, amerika udah menginjak bulan dari saban taun, isreal tiap malam ngebomin muslim palestina,.., densus nembakin orang2 muslim..yang disini masih juga sibuk saling sesat menyesatkan.. mau nuggu singapura dan australia nyaplok satu persatu wilayah RI baru ente pada mau melek, atau nunggu NATO menyerang ISLAM di indonesia?? keburu mati mas ente pada, dan belum tentu juga dapat syahid..
“Rusia udah keluar angkasa, amerika udah menginjak bulan dari saban taun, isreal tiap malam ngebomin muslim palestina,.., densus nembakin orang2 muslim..yang disini masih juga sibuk saling sesat menyesatkan.. mau nuggu singapura dan australia nyaplok satu persatu wilayah RI baru ente pada mau melek, atau nunggu NATO menyerang ISLAM di indonesia??”
@ikhsan, mau saya tambahin 1 lagi mas?
Banyak saudara2 kita yg tidak tahu apa itu sunnah, tidak tahu apa itu bid’ah, tidak tahu tauhid…emangnya ente mau saudara2 kita itu dimurtadkan oleh nashoro????
semua pandai dan berilmu,,,,semoga masuk sorga semua,,,,semoga saling berkasih sayang semua,,,,semoga semua dirahmati,,,,satu yang lain adalah coba bagi satu yang lainya,,,,semoga semua dalam golongan orang-orang yang sabar…Ya Alloh,,,Ya A’lim. maafkan kami semua Ya Ghofarr,,,
dari awal nabi adam sampai nabi muhammad SAW agama adalah islam,namun salah pemahaman dan pengertian ajaran agama mnjdkan umat bersekte-sekte[berkelompok-kelompok] dan semuanya merasa benarsendiri.padahal kebenaran hakiki hanya pada Allah SWT.semoga kita semua dibenarkan Allah dan diampuni kebodohan kita dlm memahami ajaran Agama,dan bukankah hal tsb adalah mungkin dan sah-sah aja bagi Allah?
ternyata tinjaannya dari albany dan sholeh fauzan bin fazan
من كفر مسلما فهو كافر